Kata terlambat sudah sangat lumrah bagi masyarakat Indonesia. Sanking lumrahnya sehingga istilah "jam karet" menjadi hal yang lumrah pula untuk ditoleransi (dalam beberapa case mungkin tidak).
Kebiasaan terlambat atau tidak disiplin waktu tentunya berawal dari "ala bisa karna biasa". Sejak kecil masyarakat terbiasa untuk tidak disiplin waktu karena toh tidak begitu rugi jika hanya terlambat sedikit. Lebih parahnya lagi mengenal istilah "lebih baik terlambat atau tidak sama sekali" sebuah istilah pembelaan yang tak terelakkan.
Tidak jarang masyarakat memaklumi orang-orang untuk terlambat karena mengganggap setiap orang punya masalah dan kesibukan masing-masing.
Meskipun ukuran terlambat masih belum jelas bagaimana yang dapat ditoleransi bagaimana yang tidak.
Di kalangan mahasiswa sendiri, kata terlambat bukan sebuah kata yang tabu. Adalah kejadian yang sangat langka apabila dalam sebuah kelas atau rapat kepanitiaan, tidak ada yang terlambat. Belum lagi dalam hal pengumpulan tugas via online, memohon dosen untuk toleransi beberapa menit keterlambatan. Bukan berarti seluruh mahasiswa tentunya, hanya beberapa.
Time is money
"Waktu adalah uang!"
Mengapa uang? karena dalam prespektif ekonomi, pada akhirnya orang-orang akan aware ketika sudah menyangkut masalah harga, yaitu uang.
Semua orang mengetahui bahwa terlambat itu merugikan. Seberapa merugikan kah? tidak ada yang tau sehingga kembali dapat dimaklumi oleh pribadi kita masing-masing.
Bagaimana jika nilai kerugian itu dibuat dalam bentuk angka, sebuah harga dengan kata lain,UANG.
Misalkan saja,
Seseorang terlambat mengikuti kelas 15 menit, dia mengetahui bahwa dia rugi. Rugi karena terlambat dan tidak mengikuti penjelasan dosen dari awal. Lalu dia akan memaklumi dirinya sendiri dengan solusi bertanya pada teman yang lain. Berikutnya tidak tertutup kemungkinan si mahasiswa untuk melakukan hal yang sama.
Bagaimana jika dikatakan begini,
Apabila seseorang terlambat kelas, setiap menitnya dia telah rugi Rp 10.000. Berarti mahasiswa tadi telah rugi sebesar Rp 150.000.
Menurut kamu, apakah berikutnya dia akan terlambat kelas? atau mencoba mati2an untuk tidak melewatkan uang 10.000 rupiah pun. Meskipun solusi bertanya pada teman masih bisa dilakukan, tetapi berikutnya dia tidak akan rela untuk kehilangan Rp 150.000 lagi.
Sama halnya dari cerita penelitian yang menginspirasi saya,
Seorang klimatologi pernah membuat sebuah penelitian bahwa kenaikan setiap derajat iklim dapat merugikan. Antara lain, kerusakan terumbu karang, penurunan daratan, kurangnya air bersih dan kerugian alam lainnya. Semua orang dan pemerintah mengetahui hal itu merugikan dan berharap jangan sampai terjadi.
Pemerintah menganjurkan masyarakat untuk go green dan aksi sosial pencegahan pemanasan global lainnya. Sampai bertahun-tahun manusia mencengah tanpa merasakan dampaknya secara langsung.
Lalu seorang ekonom, Nicholas Stern, menghitung dan berani menentukan angka atas kerugian yang ditanggung negara setiap kenaikan derajat iklim. Beliau memperhitungkan perubahan iklim dapat merugikan negara kurang lebih sebesar 5% dari total GDP. Dan persentasi akan terus meningkat karena perubahan iklim akan terus terjadi jika tidak dilakukan pencegahan yang nyata.
Bagaimana reaksi pemerintah ??
Pemerintah menjadi kalap mendengar GDP ternyata tersentuh dampak dari perubahan iklim itu.
Tentu saja berikutnya pemerintah dan masyarakat berusaha mati-matian menjaga alam dan melakukan program-pragram yang berdampak nyata agar perubahan iklim dapat dicegah seminimal mungkin, dan berani mengeluarkan cost yang mahal untuk melakukan penelitian demi menemukan solusi pencegahan yang tepat.
Cerita ini saya dengar pertama kali di kelas Topik Khusus Ekonomi Sumber Daya Alam oleh dosen favorit saya, Pak Martin.
Sekaligus cerita dari kelas ini menginspirasi saya akan kebiasaan terlambat yang akan sangat dihindari pula apabila ditentukan harga kerugiannya.
Bagaimana untuk menghitung harga keterlambatan tadi?
Nilai keterlambatan adalah opportunity cost (harga yang dikeluarkan untuk sebuah pilihan terbaik)
Jika saya terlambat memasuki kelas untuk mendengarkan cerita inspiratif ini selama 15 menit, maka saya akan lebih rela untuk mengulang di kelas sama tahun depan. Dengan kata lain saya harus membayar uang kuliah 3 sks sebesar Rp 150.000. Maka per menit kerugian saya adalah Rp 10.000. Kira-kira perhitungannya seperti itu.
Andaikan saja demikian, betapa saya tidak akan rela untuk terlambat kedua kalinya :)
Comments
Post a Comment